Jumat, 24 April 2015

Ringkasan Film : Filosofi Kopi

Sudah lama saya tidak menulis blog lagi. ‘Capek’ mungkin kata yang cukup mewakili penyebab lamanya blog ini tidak di update. Dan setelah sekian lama, saya ingin membahas tentang film Indonesia berjudul Filosofi Kopi.

Sebagai pembuka, Filosofi Kopi adalah sebuah judul dari salah satu karya sastra dari Dee pada tahun 2006. Cerita pendek tersebut bisa dibaca pada antalogi prosa dengan judul dan pengarang sama. Kebetulan saya punya bukunya dan hilang. Haha. Dari semua kumpulan cerpen dan prosa tersebut, jujur Filosofi Kopi mungkin bukan favorit saya ketika itu. Karena, Rico De Coro, cerita ke 18 merupakan sebuah cerpen yang juga sangat menarik.



Dalam cerpen filosofi kopi tersebut diceritakan tentang kisah sebuah kedai yang dibangun oleh Ben, seorang Barista yang sudah keliling dunia, membangun sebuah kedai kopi. Bersama dengan rekannya, Jody, mereka pun membangun kedai kopi bernama Filosofi Kopi. Konsepnya adalah sebuah kedai yang memberikan filosofi ke setiap kopi yang mereka hidangkan dalam secarik kertas. Suatu ketika ben ditantang oleh seorang pengusaha kaya untuk menciptakan sebuah kopi terenak di dunia dan menggambarkan sebuah kesempurnaan hidup. Ben pun menyanggupinya. Ben berhasil menciptakan kopi tersebut yang kemudian diberi nama Bens’s Perfecto dengan filosofi ‘sukses adalah wujud kesempurnaan hidup’. Namun, Bens’s Perfecto rupanya masih belum bisa membuat seorang pengunjung puas. Ia mengatakan kopi tiwus di kawasan jawa tengah lebih enak. Ben pun mencari kopi tersebut bersama Jody untuk membuktikannya. Dan ternyata benar, Kopi Tiwus jauh lebih enak jika dibandingkan dengan Ben’s Perfecto.



Oke, kini masuk ke main course. Kita akan membahas filmnya secara terpisah namun tetap memberi ‘sedikit’ perbandingan dengan bukunya. Sama seperti saat saya membahas film Test Pack.
Film Filosofi Kopi diawali dengan sebuah drama kedai kopi bernama Filosofi Kopi yang terlilit hutang sebesar Rp 800 juta. Meski kedai tersebut cukup ramai, namun ternyata hal tersebut tidak mampu mengurangi hutang tersebut.

Jody, sang akuntan kedai terus memutar otak untuk bisa mempertahankan kedai yang dibangunnya bersama Ben agar tidak tutup. Namun, cara-cara yang ingin dilakukan oleh Jody selalu ditentang Ben.
“Kopi yang enak akan menemukan penikmatnya” itulah kalimat yang digaungkan oleh Ben.
Namun, uang bisa berkata lain bung. Filosofi Kopi tidak bisa hidup tanpa uang, dan Tuhan memberikan jalan keluar. Suatu hari, Ben mendapat tantangan dari seorang pria kaya untuk membuatkan secangkir kopi dan akan dihargai Rp 100 juta jika kopi buatannya bisa membuat investor senang dan proyek yang tengah di nego, gol. Ben dan Jody pun menyanggupinya. Namu, sebuah manuver dilakukan Ben saat negosiasi. Ia minta bayaran ditambah menjadi Rp 1 Miliar dan jika ternyata Ben gagal membuat kopi yang enak, maka Ia harus balik membayar uang Rp 1 Miliar tersebut.



Ben pun mulai kembali belajar untuk membuat kopi yang enak, bahkan terenak di Jakarta, di Indonesia kalau perlu. Hasilnya? Ben’s Perfecto berhasil diciptakan dan berhasil membawa Filosofi Kopi menjadi semakin laris.

Namun, ‘kesempurnaan’ Ben’s Perfecto tersebut rupanya tidak membuat seorang penikmat sekaligus penulis kopi puas. Orang tersebut adalah El, seorang wanita yang telah memiliki pengakuan dunia international atas penilaiannya akan kopi.


Ia pun mengatakan bahwa Kopi paling enak di Indonesia yang pernah ia minum adalah kopi Tiwus. Kopi tersebut merupakan kopi hasil racikan dari seorang petani bernama Seno. Takut kalah taruhan, Ben dan Jody pun sepakat untuk mencari kopi tersebut bersama El.

Dan disinilah drama dimulai.

Dalam novelnya, Kopi Tiwus digambarkan sebagai kopi yang bisa membuat melayang masuk kedalam kenangan sang peminumnya. Demikian juga dalam film ini, meski sedikit ada perbedaan. Dalam film, Ben memaksa pak Seno untuk menunjukkan ladang kopinya terlebih dahulu. Di lading tersebut, ia melihat kenangan masa kecilnya yang menyenangkan dan juga kenanangan yang pahit.

Dalam kenangan tersebut, mencerittakan masa kecil Ben yang menyaksikan keluarganya dipukuli oleh petugas karena tidak mau mengganti tanaman kopi mereka menjadi lahan sawit. Disatu segmen kemudian Ben diajak untuk melihat kembali bagaimana ia diajarkan untuk membesarkan dan merawat pohon kopi. Dan kemudian melihat bagaimana kematian Ibunya yang misterius saat berangkat mengaji dan membuat ayahnya menjadi pembenci kopi. Ya, pembenci kopi. Bahkan ayahnya membanting kopi yang dibuat oleh Ben dan membakar semua biji kopi yang Ia miliki, sekaligus melarang Ben untuk menyentuh Kopi sama sekali.



Namun, ketika kembali dari ladang pak Seno, Ben pun menegak kopi Tiwus. Kenangan Ben kembali muncul. Kenangan tersebut menceritakan ketika Ia diajarkan cara memanggang biji kopi agar pas dan tidak gosong. Kenangan ini berhasil menjadi titik kekalahan Ben’s Perfecto dibanding Kopi Tiwus.
Singkat cerita, Ben, Jody dan El pun membawa kopi Tiwus ke Jakarta untuk kemudian diberiikan pada sang investor. Sang investor senang, proyek gol dan uang Rp 1 Miliar didapatkan. Tapi drama episode 2 baru dimulai kawan.

Dalam novel, Ben memang terpuruk dengan kekalahannya akan kopi Tiwus. Ia hendak pension. Demikian juga yang ada di Film. Bedanya, Ben memutuskan  pensiun dan pindah menemui ayahnya. Namunsebelunya, ia nyekar terlebih dahulu.

Ngg… disini agak aneh. Ben nyekar ke malam Ibunya, tapi di batu nisan, itu nisan Kristen. Padahal saat meninggal, Ibu-nya mau pergi ngaji. Tapi ya namanya juga film ya… ya udah sih…

Ayahnya yang sebelumnya berprofesi sebagai petani kopi rupanya telah beralih profesi menjadi petani sayur. Saat malam hari, ia pun minta dibuatkan kopi oleh Ben dan Ia menyanggupi.
“Bapak sudah lama tidak menikmati kopi seenak ini lagi,” ucapnya. Ben pun mengusap lengan bapaknya.

Mmmh… adegan ini gimana ya… Saya suka, pake banget.
Setelah itu Bapaknya pun memberikan secarik kertas pada Ben “Bapak belum sempat menceritakan ini ke kamu.”

Kertas tersebut ditemukan bapaknya digenggaman sang Ibu saat jenasahnya ditemukan. Kertas tersebut bertulisan ‘kalau kau tidak berhenti, berikutnya anakmu yang mati’
Dan inilah yang rupanya membuat sang bapak sempat membenci kopi.

Dan Alhamdulillah sang bapak dan sang anak pun berbaikan kembali.

Namun, kebahagian tersebut rupanya berbanding terbalik dengan kondisi Jody yang tengah meratapi nasib. Ia seakan kehilangan separuh jiwanya. Hingga satu saat, El datang ke Filosofi Kopi. Ia meminta kopi Tiwus namun ternyata rasanya tidak enak.

“Bikin kopi itu memang tidak bisa hanya menggunakan kepala, tapi juga hati,” ucapnya (kira-kira sih. Saya juga lupak)

Setelah itu Jody pun menemui Ben. Mengajak Ben kembali ke Jakarta namun sayangnya, Ben menolak dengan alasan ia sudah kerasan untuk tinggal bersama dengan bapaknya. Namun demikian, sang bapak rupanyanya memiliki jalan pikiran yang berbeda.

“Kalau kamu memang mencintai kopi, maka kembalilah ke Jakarta. Bapak tidak apa-apa tinggal sendiri. Setidaknya, kamu tahu bahwa kamu ada rumah untuk pulang,” (kembali, kira-kira seperti itu)

Ben pun memutuskan kembali ke Jakarta dan menemukan kedai Filosofi Kopi sudah dijual. Masih keheranan, tiba-tiba ada sebuah mobil modifikasi bertuliskan filosofi kopi. Ternyata Jody memutuskan untuk menjual kedai miliknya dan memulai kedai berjalan.

Diakhir cerita, El menulis sebuah buku berjudul Filosofi Kopi. Saat peluncuran bukunya, Ben menyempatkan diri untuk datang dan meminta bukunya ditanda tangani El sebari berkata, “Saya tidak hanya ingin meminta tanda tangan, tapi juga mengenal lebih dekat penulisnya,”

Daaaan, ini berbeda dengan versi cerpen dimana Ben dan Jody memberikan cek pada pak Seno.  Sayangnya, Pak Seno tidak tahu itu apa dan justru menyimpannya sebagi souvenir di lemari.


sekali lagi, meski mengadaptasi cerpen, namun ini beda jenis hiburannya. jadi, memang tidak bisa dibandingkan sama sekali. jadi tergantung anda, lebih suka menonton atau membaca?

1 komentar:

  1. Yang ben datangi bukan makam ibunya.. tapi makam ayahnya jody.

    BalasHapus