Jumat, 12 Juni 2015

Ekspedisi Tanah Rencong - Day I : Sabang

Jujur saja, saya bukan tipikal orang yang suka tantangan. Saya lebih suka dengan sesuatu yang santai dan tenang, dijalani dengan aman hingga semuanya selesai dengan tenang. Namun, kondisi ini sedikit terusik dengan perjalanan saya ke Aceh beberapa waktu lalu.

“Terima kasih atas undangannya, Mobil123 akan diwakili oleh bapak Adi Hidayat.” Kira-kira begitu jawaban dari managing editor saya, Indra Prabowo ketika beliau mendapatkan undangan untuk melakukan test drive All-new NP300 Navara.

Jujur, saya bersyukur telah mendapatkan kesempatan ini. Aceh, Serambi Mekah-nya Indonesia. Tempat yang mungkin tidak bisa saya datangi dengan kocek saya saat ini. Apalagi ketika saya mengetahui bahwa mobil yang digunakan adalah manual. Well, jujur saja, saya jauh percaya diri ketika mengemudi dengan transmisi manual dibandingkan dengan transmisi otomatis.


Namun saat saya melihat di undangan ‘harap mengirimkan wartawan dengan kemampuan mengemudi yang baik karena perjalanan akan melalui rute ekstrim’ (kira-kira begitu) rasanya jadi agak ciut. Seperti yang saya katakana di awal, saya bukan orang yang suka tantangan, apalagi menyangkut nyawa.

Mengemudi bukanlah hal yang mudah bagi saya. Karena mengemudi, setelah saya pelajari, bukan hanya sekedar mengendalikan kendaraan, namun juga mengendalikan ‘waktu hidup’ penumpangnya. Tapi, ya sudahlah, kalau ini tidak diambil, maka saya tidak akan bisa berkembang bukan?

Singkat cerita, saya harus tiba dibandara pukul 04.00 WIB. Tapi saya baru naik taksi kira-kira pukul 03.15. terlalu mepet buat saya untuk tiba di Bandara. Akhirnya sang supir pun saya suruh agak ngebut. Beruntung, perjalanan masih lancar. Wajar sih, namanya juga adzan subuh belum berkumandang.

Dibandara saya bertemu dengan puluhan wartawan senior dan terkemuka di dunia otomotif Indonesia. Jujur, saya minder mampus. Pengalaman saya di bidang otomotif tidak lebih dari secuil upil mereka. di bandara, kami diberikan pakaian untuk digunakan pada hari pertama.

Jadwal hari pertama adalah terbang ke Sabang dengan transit terlebih dahulu di Medan. Perjalanan dari Jakarta ke Medan tidak ada yang istimewa kecuali pelayanan pramugarinya yang kurang ramah.
Dan saya pun tiba di Medan dengan selamat. Alhamdulillah. Akhirnya saya sampe di Medan, dan langsung saya lakukan ritual wajib ketika memasuki wilayah baru yaitu pipis. Iyah, pipis. Oke, misi pertama : pipis di kualanamu, done.

Perjalanan kemudian dilanjutkan kembali. Perjalanan kali ini naik pesawat kecil dengan baling-baling. Sedikit norak, saya pun foto-foto didepan pesawat. Nah, disini pilotnya cukup menegangkan di darat. Bawanya udah kayak bawa metromini. Ngagetin. Tapi pas udah di udara, LUAR BIASA MANTAP!

Entah mungkin memang cuacanya yang super cerah atau pilotnya yang memang hebat, tapi perjalanannya luar bisa diluar perkiraan. Nyaris tidak ada goncangan. Perjalanan sangat nyaman dan pelayanan pramugarinya juga lebih ramah.

Setibanya di pulah Weh, kami pun disambut dengan tarian lokal sana, brifing dan dipertemukan dengan mobil yang akan kami tes. Saya satu mobil dengan Wahyu kecil Dapurpacu.com dan bapak Martin dari Bisnis Indonesia.



Pulau ini kecil memang, tapi sangat bagus. Jalannya mulus, aspal rata dengan kemacetan yang nyaris tidak ada. Namun tidak dapat dipungkiri jalanan cukup menantang karena meski jalannya bagus, namun sempit dan menanjak curam.

Disini saya kewalahan. Mobil yang saya supiri tersendat hingga matik aja gitu. Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa. Namun mental saya jujur saja drop. Saya pun memutuskan untuk memberikan kunci kepada 2 rekan satu tim saya.


Nah, disini destinasi utama adalah Tugu Kilometer 0. Tugu ini merupakan symbol bahwa kita berada diujung terluar Indonesia. Sebenarnya secara geografis sih bukan pulau We tapi Pulau Benggala. Pulau tersebut tidak berpenghuni. Tapi kalau dengar-dengar sih, pulau tersebut ada tertutup dan hanya boleh TNI disana. Karena itulah, tugu Kilometer 0 dibangun di Pulau Weh.

Nah, disana kita sesi foto. Sayang Tugu sedang direnovasi, jadi ya kuranglah fotonya. Ditambah lagi, terlalu banyak pedagang disana yang justru mengurangi daya tarik dari Tugu Kilometer Nol itu sendiri. Padahal seharusnya, Tugu Kilometer 0 bisa tampil lebih atraktif. Oiya, bagi yang sudah kesini, kita bisa mendapatkan sertifikat yang menunjukkan bahwa kita sudah disana.

Saya di Pulau We, Sabang, hanya semalam. Disini saya menginap di sebuah resort yang sangat bagus. Saying, saya terlalu capek dan ketiduran untuk ikut diving atau snorkeling. Sumpah, nyesel abis.

Nah, ini adalah edisi hari pertama.. tunggu ceritanya kelanjutannya yak!!!

Jumat, 24 April 2015

Ringkasan Film : Filosofi Kopi

Sudah lama saya tidak menulis blog lagi. ‘Capek’ mungkin kata yang cukup mewakili penyebab lamanya blog ini tidak di update. Dan setelah sekian lama, saya ingin membahas tentang film Indonesia berjudul Filosofi Kopi.

Sebagai pembuka, Filosofi Kopi adalah sebuah judul dari salah satu karya sastra dari Dee pada tahun 2006. Cerita pendek tersebut bisa dibaca pada antalogi prosa dengan judul dan pengarang sama. Kebetulan saya punya bukunya dan hilang. Haha. Dari semua kumpulan cerpen dan prosa tersebut, jujur Filosofi Kopi mungkin bukan favorit saya ketika itu. Karena, Rico De Coro, cerita ke 18 merupakan sebuah cerpen yang juga sangat menarik.



Dalam cerpen filosofi kopi tersebut diceritakan tentang kisah sebuah kedai yang dibangun oleh Ben, seorang Barista yang sudah keliling dunia, membangun sebuah kedai kopi. Bersama dengan rekannya, Jody, mereka pun membangun kedai kopi bernama Filosofi Kopi. Konsepnya adalah sebuah kedai yang memberikan filosofi ke setiap kopi yang mereka hidangkan dalam secarik kertas. Suatu ketika ben ditantang oleh seorang pengusaha kaya untuk menciptakan sebuah kopi terenak di dunia dan menggambarkan sebuah kesempurnaan hidup. Ben pun menyanggupinya. Ben berhasil menciptakan kopi tersebut yang kemudian diberi nama Bens’s Perfecto dengan filosofi ‘sukses adalah wujud kesempurnaan hidup’. Namun, Bens’s Perfecto rupanya masih belum bisa membuat seorang pengunjung puas. Ia mengatakan kopi tiwus di kawasan jawa tengah lebih enak. Ben pun mencari kopi tersebut bersama Jody untuk membuktikannya. Dan ternyata benar, Kopi Tiwus jauh lebih enak jika dibandingkan dengan Ben’s Perfecto.



Oke, kini masuk ke main course. Kita akan membahas filmnya secara terpisah namun tetap memberi ‘sedikit’ perbandingan dengan bukunya. Sama seperti saat saya membahas film Test Pack.
Film Filosofi Kopi diawali dengan sebuah drama kedai kopi bernama Filosofi Kopi yang terlilit hutang sebesar Rp 800 juta. Meski kedai tersebut cukup ramai, namun ternyata hal tersebut tidak mampu mengurangi hutang tersebut.

Jody, sang akuntan kedai terus memutar otak untuk bisa mempertahankan kedai yang dibangunnya bersama Ben agar tidak tutup. Namun, cara-cara yang ingin dilakukan oleh Jody selalu ditentang Ben.
“Kopi yang enak akan menemukan penikmatnya” itulah kalimat yang digaungkan oleh Ben.
Namun, uang bisa berkata lain bung. Filosofi Kopi tidak bisa hidup tanpa uang, dan Tuhan memberikan jalan keluar. Suatu hari, Ben mendapat tantangan dari seorang pria kaya untuk membuatkan secangkir kopi dan akan dihargai Rp 100 juta jika kopi buatannya bisa membuat investor senang dan proyek yang tengah di nego, gol. Ben dan Jody pun menyanggupinya. Namu, sebuah manuver dilakukan Ben saat negosiasi. Ia minta bayaran ditambah menjadi Rp 1 Miliar dan jika ternyata Ben gagal membuat kopi yang enak, maka Ia harus balik membayar uang Rp 1 Miliar tersebut.



Ben pun mulai kembali belajar untuk membuat kopi yang enak, bahkan terenak di Jakarta, di Indonesia kalau perlu. Hasilnya? Ben’s Perfecto berhasil diciptakan dan berhasil membawa Filosofi Kopi menjadi semakin laris.

Namun, ‘kesempurnaan’ Ben’s Perfecto tersebut rupanya tidak membuat seorang penikmat sekaligus penulis kopi puas. Orang tersebut adalah El, seorang wanita yang telah memiliki pengakuan dunia international atas penilaiannya akan kopi.


Ia pun mengatakan bahwa Kopi paling enak di Indonesia yang pernah ia minum adalah kopi Tiwus. Kopi tersebut merupakan kopi hasil racikan dari seorang petani bernama Seno. Takut kalah taruhan, Ben dan Jody pun sepakat untuk mencari kopi tersebut bersama El.

Dan disinilah drama dimulai.

Dalam novelnya, Kopi Tiwus digambarkan sebagai kopi yang bisa membuat melayang masuk kedalam kenangan sang peminumnya. Demikian juga dalam film ini, meski sedikit ada perbedaan. Dalam film, Ben memaksa pak Seno untuk menunjukkan ladang kopinya terlebih dahulu. Di lading tersebut, ia melihat kenangan masa kecilnya yang menyenangkan dan juga kenanangan yang pahit.

Dalam kenangan tersebut, mencerittakan masa kecil Ben yang menyaksikan keluarganya dipukuli oleh petugas karena tidak mau mengganti tanaman kopi mereka menjadi lahan sawit. Disatu segmen kemudian Ben diajak untuk melihat kembali bagaimana ia diajarkan untuk membesarkan dan merawat pohon kopi. Dan kemudian melihat bagaimana kematian Ibunya yang misterius saat berangkat mengaji dan membuat ayahnya menjadi pembenci kopi. Ya, pembenci kopi. Bahkan ayahnya membanting kopi yang dibuat oleh Ben dan membakar semua biji kopi yang Ia miliki, sekaligus melarang Ben untuk menyentuh Kopi sama sekali.



Namun, ketika kembali dari ladang pak Seno, Ben pun menegak kopi Tiwus. Kenangan Ben kembali muncul. Kenangan tersebut menceritakan ketika Ia diajarkan cara memanggang biji kopi agar pas dan tidak gosong. Kenangan ini berhasil menjadi titik kekalahan Ben’s Perfecto dibanding Kopi Tiwus.
Singkat cerita, Ben, Jody dan El pun membawa kopi Tiwus ke Jakarta untuk kemudian diberiikan pada sang investor. Sang investor senang, proyek gol dan uang Rp 1 Miliar didapatkan. Tapi drama episode 2 baru dimulai kawan.

Dalam novel, Ben memang terpuruk dengan kekalahannya akan kopi Tiwus. Ia hendak pension. Demikian juga yang ada di Film. Bedanya, Ben memutuskan  pensiun dan pindah menemui ayahnya. Namunsebelunya, ia nyekar terlebih dahulu.

Ngg… disini agak aneh. Ben nyekar ke malam Ibunya, tapi di batu nisan, itu nisan Kristen. Padahal saat meninggal, Ibu-nya mau pergi ngaji. Tapi ya namanya juga film ya… ya udah sih…

Ayahnya yang sebelumnya berprofesi sebagai petani kopi rupanya telah beralih profesi menjadi petani sayur. Saat malam hari, ia pun minta dibuatkan kopi oleh Ben dan Ia menyanggupi.
“Bapak sudah lama tidak menikmati kopi seenak ini lagi,” ucapnya. Ben pun mengusap lengan bapaknya.

Mmmh… adegan ini gimana ya… Saya suka, pake banget.
Setelah itu Bapaknya pun memberikan secarik kertas pada Ben “Bapak belum sempat menceritakan ini ke kamu.”

Kertas tersebut ditemukan bapaknya digenggaman sang Ibu saat jenasahnya ditemukan. Kertas tersebut bertulisan ‘kalau kau tidak berhenti, berikutnya anakmu yang mati’
Dan inilah yang rupanya membuat sang bapak sempat membenci kopi.

Dan Alhamdulillah sang bapak dan sang anak pun berbaikan kembali.

Namun, kebahagian tersebut rupanya berbanding terbalik dengan kondisi Jody yang tengah meratapi nasib. Ia seakan kehilangan separuh jiwanya. Hingga satu saat, El datang ke Filosofi Kopi. Ia meminta kopi Tiwus namun ternyata rasanya tidak enak.

“Bikin kopi itu memang tidak bisa hanya menggunakan kepala, tapi juga hati,” ucapnya (kira-kira sih. Saya juga lupak)

Setelah itu Jody pun menemui Ben. Mengajak Ben kembali ke Jakarta namun sayangnya, Ben menolak dengan alasan ia sudah kerasan untuk tinggal bersama dengan bapaknya. Namun demikian, sang bapak rupanyanya memiliki jalan pikiran yang berbeda.

“Kalau kamu memang mencintai kopi, maka kembalilah ke Jakarta. Bapak tidak apa-apa tinggal sendiri. Setidaknya, kamu tahu bahwa kamu ada rumah untuk pulang,” (kembali, kira-kira seperti itu)

Ben pun memutuskan kembali ke Jakarta dan menemukan kedai Filosofi Kopi sudah dijual. Masih keheranan, tiba-tiba ada sebuah mobil modifikasi bertuliskan filosofi kopi. Ternyata Jody memutuskan untuk menjual kedai miliknya dan memulai kedai berjalan.

Diakhir cerita, El menulis sebuah buku berjudul Filosofi Kopi. Saat peluncuran bukunya, Ben menyempatkan diri untuk datang dan meminta bukunya ditanda tangani El sebari berkata, “Saya tidak hanya ingin meminta tanda tangan, tapi juga mengenal lebih dekat penulisnya,”

Daaaan, ini berbeda dengan versi cerpen dimana Ben dan Jody memberikan cek pada pak Seno.  Sayangnya, Pak Seno tidak tahu itu apa dan justru menyimpannya sebagi souvenir di lemari.


sekali lagi, meski mengadaptasi cerpen, namun ini beda jenis hiburannya. jadi, memang tidak bisa dibandingkan sama sekali. jadi tergantung anda, lebih suka menonton atau membaca?

Minggu, 04 Januari 2015

Selamat Tahun Baru 2015

Selamat Tahun Baru 2015

apa resolusi anda di tahun ini?

Apapun itu, semoga terwujud!!!

Selamat Tahun Baru!!!!

Rabu, 31 Desember 2014

Seperti inilah Taman Bunga Nusantara Cipanas

Pada dasarnya, saya suka jalan-jalan. sayang uang, kendaraan hingga waktunya seringnya tidak ada. inilah yang membuat saya sering kali mengurungkan niat untuk jalan-jalan.

Tapi beberapa hari yang Ibu saya mendadak mengajak untuk piknik ke mekarsari rame-rame dengan keluarga dari suami kakak saya. alasannya sederhana, mumpung ada mobil sodara yang bisa dipinjem. saya pun langsung oke dan ngajak Mega. dan dia tiba-tiba memberi usul untuk ke Taman Nusantara di Cipanas. ide bagus yang langsung diterima secara aklamasi oleh keluarga saya.

Sayangnya, pas hari H, kakak saya mendadak tidak jadi ikut, yang artinya keluarga besar dari Mas Fikri, suami mbak lis pun tidak bisa ikut, sayang banget sumpah. padahal makanan sampai voucher bensin udah disiapkan dengan sangat matang. alhasil, yang ikut cuma Ibu, Ika, Tante Tini, Saya dan keluarga Mega.

Perjalanan dimulai pukul 4 pagi. Saya sekeluarga pake mobil sodara yang dipake, sholat Subuh di dilakukan di rest area yang mendekati Bogor. Perjalanan terbilang lancar karena masih pagi. kepadatan cuma terjadi didepan gerbang tol dan juga pas jalan yang mengalami perbaikan karena longsor.



Nah sampe puncak pas kira-kira jam setengah 7an. disana istirahat dulu sambil nge teh. lanjut perjalanan lagi ke lokasi pukul 7 lah.

Perjalanan masuk ke lokasi taman bunga dari jalan besar cukup meragukan. soalnya selain jalannya yang terbilang enggak banget karena karena jelek, jalannya pun terbilang cukup jauh banget. butuh sekitar 30 menit lebih untuk mencapai lokasi dari jalan utama.

Sampai disana kita gelar tiker dulu sarapan dan beli tiket. nah untuk beli tiket ada beberapa pilihan yaitu dengan kereta-keretaan atau dengan trem. intinya mah sama aja, bedanya kalau kereta-keretaan lebih panjang aja.



kampretnya adalah, saya tidak memperhatikan bahwa di tiket tersebut ada jadwal yang harus patuhi. alhasil kita ketinggalan. tapi dalhamdulillah setekah maksa naik di jam berikutnya, kita tetep bisa naik.

tanamannya dibuat kayak hewan


Enaknya kalau naik kendaraan adalah kita bisa mengelilingi taman yang terbilang luas dan kemudian berheti di taman imajinasi. taman ini adalah lokasi dimana banyak wahana permainan buat anak-anak. agak rugi sih sebenarnya kalau gak bawa anak kecil atau orang dewasa dengan jiwa anak kecil kayak saya.

Kagak aman banget yang bawa kendaraannya

Yang tidak enak adalah disetiap wahana kita harus bayar lagi. per wahananya sekitar 15 ribu. Nah disini kita pun naik kereta-keretaan. dan ini SERU GILAK. okeh, mungkin terkesan lebay, tapi ini emang seru, well, pas liat tempat duduknya mah emang kagak banget. saolnya ngejengkang gitu, dan terbuka tanpa perlindungan. Banun pas jalan semua sih kayaknya baik-baik aja. soalnya tikungannya gak tajam dan jalannya terbilang landai. tapi buat yang bawa anak-anak emang harus ekstra hat-hati, soalnya anaknya bisa dengan mudah loncat. yang paling berkesan adalah kita melewati air terjun buatan. seadanya sih emang tapi itu keren!!! haha...

nah setelah puas, kita kembali ke lokasi awal dengan menggunakan trem yang sama. setelah itu aku ma Mega misah.



kita disini foto-foto. lokasinya bagus emang, bunganya banyak. mungkin karena taman bunga ya, jadi bunganya banyak. kalau taman lawang mungkin yang banyak itu akan sedikit berbeda, :D. ada beberapa taman dengan tema yang berbeda masing-masingnya. salah satunya adalah taman dengan tema eropa yang menghadirkan bunga berwarna warni. bagus deh,



Kita dari sana pulang sekitar jam 3 sore. sayang, jalannya ditutup. jadi kita nunggu cukup lama di atas. nah, yang saya perhatikan adalah disana banyak bangeet pengemisnya. banyak pula yang terbilang cukup maksa dengan berdiam diri lama di depan pintu kendaraan. namun itu semua masih mending dengan waria yang saya lihat.



mereka (iya, mereka. ada 2 orang) joget-joget didepan pintu. biasa. emang biasa aja. yang luar biasa adalah apa yang mereka lakukan di mobil depan saya. si bapak ngerokok dengan jendela di buka. udah lambai tangan dan mereka tetep maksa supaya dikasih uang. dan ngerinya adalah, salah satu dari waria itu sampe masukin tangan ke dalam mobil. entah ngapain tapi jujur itu membuat saya cukup khawatir. jendela saya tutup dan pintu saya kunci. pas mereka ke mobil saya, saya cuma lampai tangan, sedikit lebih lama jika dibandingkan dengan pengemis namun alhamdulillah saya aman.

Nah uniknya adalah saat jalur one way ke arah Jakarta mulai diberlakukan. kan polisinya banyak tuh, dengan sirine yang menyala nyala. si Ika kegirangan ngeliatnya sampe tepuk tangan 
"Wiiiiiiiiih, kereeeeen!!! seru seru!!!,"

nyeeh....

Nah untuk liburan, sementara sih itu aja dulu ceritanya. selanjutnya lihat nanti-nanti. Insya Allah ada lagi ceritanya. eniwei, selamat Natal ya.

Senin, 18 Agustus 2014

17 Agustus 2014

Dirgahayu Republik Indonesia yang ke 69!

Merdeka!!!

Kamis, 07 Agustus 2014

Laporan Mudik Lebaran 2014

Baca judulnya agak aneh ya? mungkin. jadi marilah kita mulai postingan ini dengan kata-kata :

Selamat hari raya idul fitri 1435 H. Minal Aidzin wal fa idzin, mohon maaf lahir dan batin

Basi mungkin memang baru mengucapkan itu hari ini. sudah hari ke berapa Lebaran ini? wkwk.. tapi diantara kebasian tersebut, Saya rasa masih jauh lebih baik dibandingkan jika tidak diucapkan sama sekali kan? dan ini sama halnya dengan menanyakan, gimana liburannya?

Nah, kali ini Lebaran saya cukup menyenangkan. berbeda dengan Lebaran di tahun tahun sebelumnya, kali ini saya naik pesawat! yak, ini adalah pertama kalinya dalam 27 tahun saya bernapas di bumi mudik dengan dengan menggunakan pesawat. eh, tapi saya pernah naik pesawat pas arus balik pas. saat itu saya masih... mmmhhhhhhh... lupa, entah TK entah SD.

Kok bisa pake pesawat Di?

Bisa, soalnya di bayarin ma Mega. wkwkwk.... jadi begini ceritanya. saya pada dasarnya sempat ragu apakah saya akan mudik atau tidak. dan akhirnya dibalik segala keraguan tersebut, saya baru sadar bahwa sudah lama saua tidak mudik. alhasil, saya pun memutuskan untuk mudik. ketika itu saya berusaha untuk mendapatkan tiket kereta. sayang , saya tidak dapat. Mega yang saya minta bantuannya untuk mencarikan tiket mudik juga menyerah. melihat sulitnya mendapatkan tiket mudik kereta, akhirnya dia mengiklaskan tabungan dia untuk bayarin tiket mudik pesawat saya. hebatnya adalah, dia memberikan saya tiket pesawat Garuda Indonesia kelas bisnis. wohooooo... sementara pulangnya, alhamdulillah daya mendapat tiket Gajayana dari Kediri ke Jakarta.

Enaknya dari penggunaan pesawat ini adalah kita nunggu di lounge. untuk itulah saya abis pulang kantor langsing cuss ke Bandara. sampe Bandara langsung sholat dll dan ke lounge. penuh memang, namun tetap nyaman. jauh lebih nyaman daripada nunggu di ruang tunggu. Alhamdulillah rejeki anak sholeh. di lounge tersebut saya makan gila-gilaan. makanannya bisa dibilang sederhana, tapi yang sederhana itulah yang enak.

Lounge Garuda

pas di pesawat, saya dikasih pilihan bacaan. ditawarinnya tempo, gatra dll. dan yang saya ambil adalah majalah Bobo. Pramugarinya sih senyum aja, senyum yang kayak 'nyaelah, muka aja lo yang preman, bacaannya masih Bobo..' kebayangkan?

nah sambil baca ternyata di pas diatas saya dikasih makan lagi. well, meski perut masih super kenyang karena di lounge tadi makan banyak tapi kapan lagi coba naik garuda di bisnis? jadi ya makan ajah. oiya, di lounge itu saya makan nasi ulan dan segala macam lauk pauknya, ditambah dengan laksa bogor, somay dan niatnya sih pecel, tapi sayurnya sudah bau.. terpaksa saya batalkan niat tersebut. sementara pas di pesawat saya dapet bubur ketan item beserta roti gak jelas dan nasi ayam. nasi ayam itu ada pilihannya sebenernya, ada mie seafood juga.

sampe Surabaya sudah jam setengah 1 malam. dijemput oleh Dek Oga dan kemudian menginap di hotel depan kantornya. kalau gak salah Hotel Alana. disana minta dibangunin untuk sahur. pas sahur pun jujur saya masih merasa kenyang, dan mengantuk pastinya, jadi saya lupa makan apa. cuma yang saya ingat, susu coklatnya agak kurang enak.


Saya dan Dek Oga



nah saya tidur kebablasan. niat jam 10 sudah otw ke Pare, ini malah jam setengah 12 masih leyeh-leyeh. saya lupa cabut jam brapa, tapi yang jelas sudah siang. sebelumnya kami mencari oleh-oleh dulu. Saya nyari sambel Bu Rudy, tapi gak ada dan bukan rekomendasi dek Oga. dia justru merekomendasikan sambel Bu Yudi dengan udang yang terpisah. sayangnya jenis sambal yang enak itu tidak ada . jadi saya mengambil apa yang ada ditambah dengan sambel merk lain yaitu Mercon. oiya, untuk jenis sambal yang saya cari adalah sambal Klothok tapi untuk oleh-oleh saya ambil jenis sambal Bajak Abang.

Perjalanan menuju Pare terbilang lancar jaya. Namun jujur, karena saya tidak terbiasa mengemudi diluar kota, maka rasanya agak-agak kagok bawa mobilnya dek Oga. disana jalannya kudu banyak-banyak main klakson. motornya sadis-sadis gak mau ngalahnya. jauh berbeda dengan yang di Jogja. haha.. selain ity jalan di lalui itu bisa dibilang jalur alternatif namun aspalnya bagus. jadi mobil bisa dipacu sampe 80 km/jam dan cukup sulit mengingat jalannya yang lumayan sempit.

Di Pare sendiri sebearnya gak ada yang spesial yang bisa saya ceritain. disana lebih ke family time. Disana saya sholat Ied di Masjid Agung An-Nur. deket rumah. sayang gak sama mbak lis, soalnya Mbak Lis, Mas Fikri, Aji, dan Bapaknya Mas Fikri mudik belakangan. mereka baru tiba di Pare H+2.

Masjid An-Nur


Sama Ibu


My small happy family


Mereka nginepnya di rumah budhe Mamik. rumahnya disana luas, Aji suka banget disana. lucu banget pas dia pertama kali nginjek rumput. dia diem lama sambil senyum-senyum gitu. lucu deh. dia juga dimasukin ke kolam lele yang kosong. lagi-lagi, dia diem dulu kesenangan. baru deh pecicilan.


Berasa di pantai


Namun yang saya sayangkan adalah saya kurang puas berburu makanan dan jalan-jalan. ada beberapa menu wajib yang belum saya dapatkan. oiya, ada tempat makan yang selalu ramai namanya Soto Lumayan di stasiun Pare. saya tidak akan bahas makananya tapi saya mau bahas keanehan di toko ini.

siang itu saya sama ibu kesana untuk memungkus 2 porsi soto, tapi pas sampe sana ternyata tidak boleh pesen 2 porsi soto bungkus. bolehnya maksimal 1. bingung, akhirnya saya disuruh Ibu untuk KELUAR DULU ABIS ITU MASUK LAGI DAN MESEN LAGI!!!! agak konyol sih sebenarnya tapi itulah kenyataannya. soto Ibu pesenannya bener, daging semua dengan jumlah kuah yang fantastis. sementara punya saya terbilang normal jumlahnya dengan daging yang dicampur dengan tetelan. agak rese yee?


Dan karena saya tidak banyak jalan-jalan disana, jadi saya tidak update liburan seperti temen-temen saya yang aktif beneeeer updatenya. Saya sebenarnya mau ke Kelud, tapi sama Ibu gak boleh. Untuk itu saya memilih ke Simpang Lima Gumul untuk,,,yaaaa setidaknya bisa ada yang difoto lah ya... hehe. disana rame beneeer.... dan sayangnya terowongan masuk dari parkiran ke lokasi kurang terawat. bahkan tercium bau pesing pas di pintu masuk. sementara di dalem terowongannya sendiri pengap karena tidak ada udara yang masuk. AC? tidak ada.





pas pulang, saya naik Gajayana Lebaran. mungkin karena ini kereta tambahan, jadi kondisinya agak kurang bagus. Jujur, untuk kereta sekelas Gajayana yang konon memiliki kualitas sekelas Argo, rasanya ini sangat dibawah ekspektasi. tapi ya sudahlah, namanya juga demi mudik. hehe..

lantas, bagaimana dengan Lebaran anda?

Rabu, 18 Juni 2014

Sekedar iseng belaka

Sebenarnya kangen nulis disini. tapi setiap buka blog ini, mendadak semua cerita yang pengen ditulis, lenyap. bingung mau nulis apa, karena terlalu banyak yang ingin ditulis dan tidak tahu cara merangkaikannya dalam kata-kata.

semoga hanya sementara. semoga