Sudah lama saya tidak menulis blog lagi. ‘Capek’ mungkin kata
yang cukup mewakili penyebab lamanya blog ini tidak di update. Dan setelah
sekian lama, saya ingin membahas tentang film Indonesia berjudul Filosofi Kopi.
Sebagai pembuka, Filosofi Kopi adalah sebuah judul dari
salah satu karya sastra dari Dee pada tahun 2006. Cerita pendek tersebut bisa
dibaca pada antalogi prosa dengan judul dan pengarang sama. Kebetulan saya
punya bukunya dan hilang. Haha. Dari semua kumpulan cerpen dan prosa tersebut,
jujur Filosofi Kopi mungkin bukan favorit saya ketika itu. Karena, Rico De
Coro, cerita ke 18 merupakan sebuah cerpen yang juga sangat menarik.
Dalam cerpen filosofi kopi tersebut diceritakan tentang
kisah sebuah kedai yang dibangun oleh Ben, seorang Barista yang sudah keliling
dunia, membangun sebuah kedai kopi. Bersama dengan rekannya, Jody, mereka pun
membangun kedai kopi bernama Filosofi Kopi. Konsepnya adalah sebuah kedai yang
memberikan filosofi ke setiap kopi yang mereka hidangkan dalam secarik kertas. Suatu
ketika ben ditantang oleh seorang pengusaha kaya untuk menciptakan sebuah kopi
terenak di dunia dan menggambarkan sebuah kesempurnaan hidup. Ben pun menyanggupinya.
Ben berhasil menciptakan kopi tersebut yang kemudian diberi nama Bens’s
Perfecto dengan filosofi ‘sukses adalah wujud kesempurnaan hidup’. Namun, Bens’s
Perfecto rupanya masih belum bisa membuat seorang pengunjung puas. Ia mengatakan
kopi tiwus di kawasan jawa tengah lebih enak. Ben pun mencari kopi tersebut
bersama Jody untuk membuktikannya. Dan ternyata benar, Kopi Tiwus jauh lebih
enak jika dibandingkan dengan Ben’s Perfecto.
Oke, kini masuk ke main course. Kita akan membahas filmnya
secara terpisah namun tetap memberi ‘sedikit’ perbandingan dengan bukunya. Sama
seperti saat saya membahas film Test Pack.
Film Filosofi Kopi diawali dengan sebuah drama kedai kopi bernama
Filosofi Kopi yang terlilit hutang sebesar Rp 800 juta. Meski kedai tersebut
cukup ramai, namun ternyata hal tersebut tidak mampu mengurangi hutang
tersebut.
Jody, sang akuntan kedai terus memutar otak untuk bisa
mempertahankan kedai yang dibangunnya bersama Ben agar tidak tutup. Namun,
cara-cara yang ingin dilakukan oleh Jody selalu ditentang Ben.
“Kopi yang enak akan menemukan penikmatnya” itulah kalimat
yang digaungkan oleh Ben.
Namun, uang bisa berkata lain bung. Filosofi Kopi tidak bisa
hidup tanpa uang, dan Tuhan memberikan jalan keluar. Suatu hari, Ben mendapat
tantangan dari seorang pria kaya untuk membuatkan secangkir kopi dan akan
dihargai Rp 100 juta jika kopi buatannya bisa membuat investor senang dan
proyek yang tengah di nego, gol. Ben dan Jody pun menyanggupinya. Namu, sebuah
manuver dilakukan Ben saat negosiasi. Ia minta bayaran ditambah menjadi Rp 1
Miliar dan jika ternyata Ben gagal membuat kopi yang enak, maka Ia harus balik
membayar uang Rp 1 Miliar tersebut.
Ben pun mulai kembali belajar untuk membuat kopi yang enak,
bahkan terenak di Jakarta, di Indonesia kalau perlu. Hasilnya? Ben’s Perfecto
berhasil diciptakan dan berhasil membawa Filosofi Kopi menjadi semakin laris.
Namun, ‘kesempurnaan’ Ben’s Perfecto tersebut rupanya tidak
membuat seorang penikmat sekaligus penulis kopi puas. Orang tersebut adalah El,
seorang wanita yang telah memiliki pengakuan dunia international atas
penilaiannya akan kopi.
Ia pun mengatakan bahwa Kopi paling enak di Indonesia yang
pernah ia minum adalah kopi Tiwus. Kopi tersebut merupakan kopi hasil racikan
dari seorang petani bernama Seno. Takut kalah taruhan, Ben dan Jody pun sepakat
untuk mencari kopi tersebut bersama El.
Dan disinilah drama dimulai.
Dalam novelnya, Kopi Tiwus digambarkan sebagai kopi yang
bisa membuat melayang masuk kedalam kenangan sang peminumnya. Demikian juga
dalam film ini, meski sedikit ada perbedaan. Dalam film, Ben memaksa pak Seno
untuk menunjukkan ladang kopinya terlebih dahulu. Di lading tersebut, ia
melihat kenangan masa kecilnya yang menyenangkan dan juga kenanangan yang
pahit.
Dalam kenangan tersebut, mencerittakan masa kecil Ben yang
menyaksikan keluarganya dipukuli oleh petugas karena tidak mau mengganti
tanaman kopi mereka menjadi lahan sawit. Disatu segmen kemudian Ben diajak
untuk melihat kembali bagaimana ia diajarkan untuk membesarkan dan merawat
pohon kopi. Dan kemudian melihat bagaimana kematian Ibunya yang misterius saat
berangkat mengaji dan membuat ayahnya menjadi pembenci kopi. Ya, pembenci kopi.
Bahkan ayahnya membanting kopi yang dibuat oleh Ben dan membakar semua biji
kopi yang Ia miliki, sekaligus melarang Ben untuk menyentuh Kopi sama sekali.
Namun, ketika kembali dari ladang pak Seno, Ben pun menegak
kopi Tiwus. Kenangan Ben kembali muncul. Kenangan tersebut menceritakan ketika
Ia diajarkan cara memanggang biji kopi agar pas dan tidak gosong. Kenangan ini
berhasil menjadi titik kekalahan Ben’s Perfecto dibanding Kopi Tiwus.
Singkat cerita, Ben, Jody dan El pun membawa kopi Tiwus ke
Jakarta untuk kemudian diberiikan pada sang investor. Sang investor senang,
proyek gol dan uang Rp 1 Miliar didapatkan. Tapi drama episode 2 baru dimulai
kawan.
Dalam novel, Ben memang terpuruk dengan kekalahannya akan
kopi Tiwus. Ia hendak pension. Demikian juga yang ada di Film. Bedanya, Ben
memutuskan pensiun dan pindah menemui
ayahnya. Namunsebelunya, ia nyekar terlebih dahulu.
Ngg… disini agak aneh. Ben nyekar ke malam Ibunya, tapi di
batu nisan, itu nisan Kristen. Padahal saat meninggal, Ibu-nya mau pergi ngaji.
Tapi ya namanya juga film ya… ya udah sih…
Ayahnya yang sebelumnya berprofesi sebagai petani kopi
rupanya telah beralih profesi menjadi petani sayur. Saat malam hari, ia pun
minta dibuatkan kopi oleh Ben dan Ia menyanggupi.
“Bapak sudah lama tidak menikmati kopi seenak ini lagi,”
ucapnya. Ben pun mengusap lengan bapaknya.
Mmmh… adegan ini gimana ya… Saya suka, pake banget.
Setelah itu Bapaknya pun memberikan secarik kertas pada Ben “Bapak
belum sempat menceritakan ini ke kamu.”
Kertas tersebut ditemukan bapaknya digenggaman sang Ibu saat
jenasahnya ditemukan. Kertas tersebut bertulisan ‘kalau kau tidak berhenti,
berikutnya anakmu yang mati’
Dan inilah yang rupanya membuat sang bapak sempat membenci
kopi.
Dan Alhamdulillah sang bapak dan sang anak pun berbaikan
kembali.
Namun, kebahagian tersebut rupanya berbanding terbalik
dengan kondisi Jody yang tengah meratapi nasib. Ia seakan kehilangan separuh
jiwanya. Hingga satu saat, El datang ke Filosofi Kopi. Ia meminta kopi Tiwus
namun ternyata rasanya tidak enak.
“Bikin kopi itu memang tidak bisa hanya menggunakan kepala,
tapi juga hati,” ucapnya (kira-kira sih. Saya juga lupak)
Setelah itu Jody pun menemui Ben. Mengajak Ben kembali ke
Jakarta namun sayangnya, Ben menolak dengan alasan ia sudah kerasan untuk
tinggal bersama dengan bapaknya. Namun demikian, sang bapak rupanyanya memiliki
jalan pikiran yang berbeda.
“Kalau kamu memang mencintai kopi, maka kembalilah ke
Jakarta. Bapak tidak apa-apa tinggal sendiri. Setidaknya, kamu tahu bahwa kamu
ada rumah untuk pulang,” (kembali, kira-kira seperti itu)
Ben pun memutuskan kembali ke Jakarta dan menemukan kedai
Filosofi Kopi sudah dijual. Masih keheranan, tiba-tiba ada sebuah mobil
modifikasi bertuliskan filosofi kopi. Ternyata Jody memutuskan untuk menjual
kedai miliknya dan memulai kedai berjalan.
Diakhir cerita, El menulis sebuah buku berjudul Filosofi
Kopi. Saat peluncuran bukunya, Ben menyempatkan diri untuk datang dan meminta
bukunya ditanda tangani El sebari berkata, “Saya tidak hanya ingin meminta
tanda tangan, tapi juga mengenal lebih dekat penulisnya,”
Daaaan, ini berbeda dengan versi cerpen dimana Ben dan Jody
memberikan cek pada pak Seno. Sayangnya,
Pak Seno tidak tahu itu apa dan justru menyimpannya sebagi souvenir di lemari.
sekali lagi, meski mengadaptasi cerpen, namun ini beda jenis hiburannya. jadi, memang tidak bisa dibandingkan sama sekali. jadi tergantung anda, lebih suka menonton atau membaca?
Yang ben datangi bukan makam ibunya.. tapi makam ayahnya jody.
BalasHapus